Oleh: Dewa Sukma Kelana, S.H., M.Kn (Akademisi STIH Painan)
Sehubungan dengan bencana nasional wabah coronavirus disease (covid-19) dan dalam rangka menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat serta produktivitas sektor tertentu.
Belum lama ini pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 23/PMK.03/2020 tanggal 21 Maret 2020, tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak wabah virus corona.
Aturan tersebut salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam penanggulangan bencana yang anggaranya diambil dari alokasi anggaran dan pendapatan belanja negara penanggulangan bencana.
Dalam PMK tersebut diantaranya menjelaskan, bahwa pegawai yang menerima penghasilan dari pemberi kerja, dengan kriteria memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam lampiran PMK 23/PMK.03/2020.
Memiliki NPWP dan memperoleh penghasilan bruto tidak lebih dari 200 juta rupiah pertahun, pajak PPh 21 dari pegawai tersebut ditanggung oleh pemerintah alias tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak sejak bulan April 2020 sampai dengan bulan September 2020.
Namun yang sangat disayangkan walau pekerjaanya ditempatkan di industri-industri yang memenuhi klasifikasi lampiran PMK 23/PMK.03/2020.
Pegawai outsourcing yang jelas-jelas garda terdepan merasakan dampak covid 19 langsung, justru tetap dipajaki, alias penghasilanya tetap dipotong untuk mebayar pajak.
Sedangkan pengahasilanya jelas-jelas lebih kecil dibanding sesama rekan kerja Induk perusahaanya yang lebih jelas kesejahteraanya.
Ironis memang, rekan kerja yang penghasilanya lebih besar justru tidak dipotong pajak, sebaliknya pegawai outsourcing yang penghasilanya lebih kecil malah dipotong pajak.
Padahal pegawai outsourcing, dalam kondisi saat ini justru yang paling rentan terdepan menjadi korban PHK dan dikurangi penghasilanya.
Meskipun karena tuntutan ekonomi, mereka akan terpaksa tetap menerima karena tidak ada pilihan lain. Pekerja outsorcing memang harus siap mengikuti peraturan perusahaan dengan sistem kontrak dari perusahaan induk.
Karena pada prakteknya menjadi korban diakriminasi kesejahteraan, upah terkadang dibawah ketentuan dan tidak memberikan perlindungan hukum kepada pegawainya.
Ditambah banyaknya potongan termasuk potongan pajak penghasilan saat ini.
penulis hanya mencoba melogikakan, jika dalam PMK covid 19 ini disebut bencana nasional tentu semua akan sama merasakan dampaknya dan bantuan atau insentif pemerintah mestinya mengutamakan golongan berpenghasilan lemah bukan sebaliknya.
Ini kritik sosial, namun penulis percaya bahwa sesungguhnya takdir rezeki mereka tidak akan pernah tertukar walau dalam perbedaan status.