Oleh : Dewa Sukma Kelana, S.H., M.Kn
(Dosen STHI Painan Banten)
Kondisi bangsa Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan, bahkan untuk bangsa-bangsa lainnya diseluruh dunia. Akibatnya berimbas kepada pergerakan ekonomi termasuk sektor usaha dimana didalamnya terdapat pengusaha dan pekerja.
Jika demikian negara harus hadir melindungi keduanya secara adil. Karena pengusaha akan berkata ini keadaan memaksa (Force Majeure) dan pekerja merasa haknya telah dilindungi Undang-undang ketenagakerjaan.
Maka terbitlah Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Seolah-olah mengatakan hukum ketenagakerjaan tidak berlaku lagi dalam keadaan darurat karena dalam hal ini yang dikedepankan hubungan bipartit cukup penyelesaianya di negoisasi antara pekerja dan pengusaha lebih khusus lagi terkait upah.
Dimana dalam kondisi PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) mau tidak mau pengusaha terpaksa harus merumahkan pekerja, karena melaksanakan perintah dari pemerintah guna mencegah penularan Covid-19 yang mengancam keselamatan jiwa pekerja dan keluarganya, serta masyarakat luas.
Supaya tidak saling tuding melakukan pelanggaran hukum maka dibutuhkan keterbukaan antara pengusaha dan pekerja. Karena dalam penerapan PSBB keduanya sama-sama mengabdi pada kepentingan umum atau negara.
Contoh ketika PSBB, pengusaha kehilangan sumber pendapatan karena produksi distribusi order dan sebagainya berhenti, akibatnya merugi lalu tidak dapat membayar upah pekerjanya 100% maka pengusaha secara fair terbuka kepada pekerja melalui bipartit menyajikan hasil audit dari akuntan publik sebagai bukti kerugianya.
Secara tekhnis jika perusahaan memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama) dan keadaan memaksa telah diatur didalamnya maka PKB dapat dijadikan rujukan, jika tidak maka keterbukaan jalan terbaik.
Sebaliknya serikat pekerja (wakil pekerja yang berhak melakukan negoisasi sebagaimana PKB) dalam keadaan tidak biasa tersebut, sepatutnya setiap memutuskan sesuatu atau kesepakatan bipartit dengan pengusaha harus terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan anggotanya atau seluruh pekerja.
Jika ingin keputusanya tidak dipersalahkan oleh seluruh anggotanya, sampaikan hasil negoisasinya secara terbuka pada anggota. Akhirnya tidak terbebani dengan perasaan bersalah, mengingat kesepakatan tersebut telah disetujui oleh seluruh anggotanya.
Agar tidak melangkahi dalam bernegoisasi hendaknya utamakan langkah-langkah yang telah dirpenjanjikan sebelumnya atau tertuang keadaanya dalam PKB.
Yang perlu diingat agar bahasan tidak diulang-ulang, setiap tahapan bipartit harus dibuat notulen sebagai rujukan pertemuan berikutnya agar fokus dan tidak bias.
Namun jika tidak ada keterbukaan dan covid 19 terkesan hanya dijadikan alasan atau dimanfaatkan untuk menguntungkan salah satu pihak dimana bipartit menghasilkan perbedaan bukan kesepakatan.
Maka merujuk pada norma praktik peradilan, bipartit bukan forum legalisasi perselisihan hubungan industrial, termasuk jika terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dengan alasan Covid 19.
Bipartit hanya formalitas prosedur, oleh karenanya jika tidak ada kata sepakat didalamnya hal itu bukan sebagai bentuk keputusan yang melegalisasi keinginan satu pihak. Dalam artian meskipun bipartit wajib dilakukan sebagaimana Surat Edaran Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 mengatakan bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19 sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerjanya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran dan cara pembayaran upah pekerja dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja dalam artian bipartit.
Namun demikian tetap saja bipartit tersebut tidak wajib menghasilkan kesepakatan.
Ingat-ingat putusan pengadilanlah atau sejak hakim membacakan putusanlah yang bisa mengatakan perselisihan berakhir, ketika bipartit itu dianggap tidak lagi efektif dan timbul perdebatan yang berlarut-larut.
Meskipun demikian dalam kondisi covid 19 ini yang terbaik memang forum bipartit dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan keterbukaan. Karena jika berlarut-larut pun akhirnya yang dirugikan semua.
Yang terpenting ketika hendak memutuskan sesuatu dan itu menyangkut orang banyak, meskipun diberi kewenangan hendaknya terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan penuh pertimbangan. Lalui terlebih dahulu tahapanya dengan sabar, jangan mengedepankan ego atau tergesa-gesa memutuskan atas dasar kehendak sendiri.
Akan tetapi ada beberapa catatan yang terdapat dalam SE Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 yang wajib dilaksanakan pengusaha tanpa bipartit, yakni untuk pekerja yang dikategorikan kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi dan atau Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait Covid-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
Sedangkan bagi pekerja yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Maka tegas peraturan perundang-undangan wajib menjadi rujukan ketika pekerja dan pengusaha melahirkan perdebatan yang tak kunjung selesai dalam bipartit.
Akhirnya mari kita semua saling berdoa dan berbuat agar covid 19 cepat berlalu dan kondisi normal kembali seperti sedia kala. Aamiin